Jakarta. Pemerintah telah melarang ekspor batu bara pada Januari, dengan alasan kekhawatiran bahwa pasokan yang tidak mencukupi di pembangkit listrik domestik dapat mengakibatkan pemadaman yang meluas, kata seorang pejabat senior kementerian energi, Sabtu.
Indonesia mengandalkan bahan bakar fosil untuk pembangkit listriknya, dengan sekitar 60 persen pembangkit listriknya menggunakan energi dari batu bara. Untuk memastikan pasokan domestik, negara memberlakukan kebijakan domestic market obligation (DMO). Ini mengharuskan penambang batu bara untuk memasok 25 persen dari produksi tahunan ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) milik negara dengan harga maksimum $70 per metrik ton, sekitar setengah dari harga pasar global saat ini.
Kebijakan tersebut berupaya menjaga pasokan batu bara selama 20 hari untuk pembangkit listrik lokal, atau sekitar 5,1 metrik ton. Namun, hingga 1 Januari, penambang batu bara lokal hanya memenuhi kurang dari 1 persen dari pasokan yang dibutuhkan, kata Ridwan Jamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam sebuah pernyataan.
“Mengapa ekspor dilarang untuk semua orang? Kami tidak bisa menahannya, dan itu hanya sementara. Jika larangan itu tidak dilaksanakan, lebih dari 20 pembangkit listrik dengan kapasitas gabungan 10.850 megawatt akan dimatikan,” kata Ridwan dalam pernyataannya.
“Jika tidak ada tindakan strategis yang diambil, pemadaman listrik yang meluas mungkin terjadi,” katanya, seraya menambahkan bahwa pemerintah berencana untuk meninjau kembali larangan tersebut setelah 5 Januari.
Ini adalah larangan kedua dalam waktu kurang dari satu tahun setelah pemerintah menghentikan ekspor batu bara dari 34 penambang batu bara Agustus lalu karena gagal memenuhi DMO mereka dalam tujuh bulan sebelumnya.
Reaksi bisnis
Arsjad Rasjid, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, mengatakan pihaknya mendukung kebijakan pemerintah untuk menjamin pasokan listrik nasional. Namun, dia menyayangkan penerapan sweeping ban secara sepihak dan tergesa-gesa yang bisa membahayakan pemulihan ekonomi dan iklim investasi Indonesia.
“Pemerintah tidak bekerja sendiri. Ada peran penting dunia usaha dalam pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi. Jadi kami sangat berharap kebijakan pemerintah yang berdampak pada dunia usaha dan perekonomian nasional, seperti larangan penggunaan batu bara. ekspor, harus dibicarakan bersama,” kata Arsjad.
Arsjad yang juga Presiden Direktur di salah satu grup penambang batu bara ternama Indonesia, Indika Energy, mengatakan lonjakan harga batu bara dalam beberapa bulan terakhir telah membantu ekspor Indonesia mengungguli sektor lain dan membantu pemulihan ekonomi Indonesia.
Negara Asia Tenggara adalah eksportir batubara termal terbesar di dunia, dengan perkiraan 400 juta metrik diekspor pada tahun 2020, terutama ke Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan.
Kadin juga mempertanyakan pernyataan pemerintah soal kelangkaan pasokan batu bara dalam negeri. Arsjad mengatakan, tidak semua pembangkit listrik, termasuk yang dioperasikan oleh produsen listrik independen, mengalami kelangkaan batu bara yang kritis.
“Anggota Kadin banyak yang merupakan perusahaan pemasok batu bara, dan mereka telah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kontrak penjualan dan peraturan penjualan batu bara untuk kelistrikan nasional,” kata Arsjad.
Karena itu, Kadin berharap pemerintah bisa menerapkan sistem reward and punishment yang adil dan konsisten, bukan larangan menyeluruh bagi semua perusahaan batu bara.
Arsjad meminta pemerintah mengkaji ulang larangan ekspor batu bara, terutama karena banyak perusahaan penambang yang memiliki kontrak dengan luar negeri. Jika tidak, akan merusak citra negara terkait konsistensi kebijakan dalam berbisnis.
“Reputasi Indonesia sebagai pemasok batu bara global akan tercoreng,” kata Arsjad.
Apalagi upaya kita untuk menarik investasi sebagai negara yang ramah investor dan iklim usaha yang pasti dan dilindungi undang-undang akan menurunkan reputasinya. Minat investor di sektor pertambangan, mineral, dan batubara akan berkurang karena sektor tersebut dianggap tidak bisa memberikan kepastian bagi pelaku usaha,” katanya.